April 2015
“YANG LEBIH KAYA”
Cerita : Vicky Lovely
“Mbaaaaa ambilkan minum!!!”
“Mbaaaa! Sepatuku mana?!”
“Mbaaaa! Kenapa bajuku luntur begini?! Gimana sih?! Nyuci nya kok ga bener?!”
Kira-kira, itulah teriakan teriakan yang sering sekali terdengar dari dalam sebuah rumah besar. Dan seperti biasa, tak beberapa lama kemudian, seorang wanita setengah baya akan berlari-lari sambil berteriak,
“iya nooon”.
Teriakan-teriakan suruhan itu terlontar dari mulut seorang gadis kecil, Julie. Sejak kecil, Julie memang selalu dimanja oleh kedua orangtuanya yang kaya raya. Apapun yang Julie minta pasti dibelikan, bahkan yang mahal dan tidak berguna sekalipun. Tak heran, Julie tumbuh menjadi gadis kecil yang manja dan seenaknya saja. Setiap hari, ia berteriak-teriak menyuruh pembantunya si Mbok mengerjakan semua pekerjaannya. Mulai dari ambil minum, sampai membeli keperluan sekolahnya. Padahal kedua orang tuanya sudah berkali-kali menyuruhnya untuk tidak menyuruh Mbok terus menerus, tapi, Julie tidak pernah sekalipun menghiraukannya bahkan gadis itu biasanya akan menjawab,
“Ya gapapa dong. Kan Mbok digaji sama mama papa untuk bekerja kan? Lagipula kan Julie lebih kaya dari Mbok”
Ayah ibu Julie hanya menggeleng-geleng pasrah mendengar jawaban anaknya. Mungkin selama ini mereka salah terlalu memanjakan anak itu. Lalu, ayah Julie pun menasihati anaknya dengan sabar.
“Juliee.. Semua kepunyaan ayah dan ibu ini adalah pemberian Tuhan. Memang saat ini, Julie lebih berkecukupan dari Mbok, tapi, jika nanti Tuhan ambil semuanya, Julie tidak akan bisa bilang seperti itu lagi.”
Saat itu Julie memang masih tidak mengerti maksud ayahnya. Tapi, ia akan mengerti.
***
Matahari bersinar dengan begitu kuatnya dan membuat orang-orang mengelap keringatnya berkali-kali. Begitu pula dengan Julie, gadis itu mengelap keringatnya berkali-kali sambil menuju mobilnya yang terparkir di halaman sekolahnya. Julie membuka pintu dan duduk di mobilnya,
“Pak Suman lama amat sih. Julie kan jadi kepanasan. Emangnya bapak tidak punya jam ya?”
Seperti biasa, Julie memarahi supirnya terlebih dahulu. Pak Suman, supir keluarga itu hanya bisa mengangguk-angguk pasrah dan menjalankan mobil. Tak beberapa lama kemudian, mobil itu berhenti di depan rumah mewah Julie. Gadis itu segera turun dan seperti biasa,
“Mbaaaa! Bukain sepatu Julie!”
Tak terdengar jawaban. Julie merengutkan keningnya. Aneh, biasanya si Mbok akan langsung menjawab. Ah mungkin dia tidak dengar.
“Mbaaaaaa!”
Tak terdengar jawaban lagi.
“Mbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!”
Julie berteriak dengan sangat keras, tapi si Mbok tak kunjung datang juga. Aneh, kemana pula si Mbok. Julie sedang berpikir kemana gerangan perginya si Mbok ketika mendengar suara dari atas.
“Julie... Kenapa kau tidak buka sepatumu sendiri?”
Julie menoleh dan melihat ayahnya berdiri. Julie melengos, “Hmmph! Biasanya juga Mbok yang bukaiin! Mana sih si Mbok?!”
Ayah Julie turun dari lantai kamarnya sambil berkata.”Mbok tidak ada, Ia sakit dan izin pulang kampung.”
“APA?! Mbok pulang kampung?! Lalu, siapa yang akan melakukan pekerjaan Julie?!”
Ayah Julie menatap Julie tegas dan berkata, “Tidak ada, kau harus melakukannya sendiri, dan... selain itu, papa rasa, ada baiknya jika kau menjenguk si Mbok di kampungnya.”
Julie merasa hatinya serasa tersambar petir ketika mendengar pernyataan ayahnya.
“Kenapa Julie harus ke kampung si Mbok? Ga mau ah! Papa apaan sih! Julie mana sanggup hidup di tempat kotor seperti itu. Belum lagi ada kecoak, tikus, laba-laba, iikh...”
“Julie! Sudah cukup! Ibu mu juga sudah mengepak baju-bajumu. Sabtu ini, kau akan segera berangkat.”
Setelah berkata begitu, ayah Julie pergi meninggalkan Julie dalam perasaan yang campur aduk.
***
Seminggu kemudian...
“Papa! Papa!!!”
Seorang gadis kecil berlari-lari sambil melambai-lambai dari sebuah gubuk kecil. Gadis itu menarik kopernya lalu berlari memeluk ayahnya. Kedua orang itu berpelukan sejenak dan akhirnya memasuki mobil. Julie duduk di bangku depan lalu membuka kaca jendelanya.
“Dah Mboook! Cepat sembuh yaa! Dah Naomi!!! Nanti aku kirim suraat!”
Ayah Julie menjalankan mobil sambil terheran-heran melihat anaknya yang tersenyum begitu sumigrah. Aneh. Padahal seminggu yang lalu, anak itu masih merengek-rengek tidak mau memasuki rumah pembantunya, tapi, kini, jangankan cemberut, anaknya malah terus menerus tersenyum lebar.
“Julie sudah tidak kesal??? Ada cerita apa saja selama seminggu ini??? Naomi itu siapa???”
Ayah Julie yang penasaran akhirnya melontarkan berbagai pertanyaan. Julie tersenyum misterius lalu menjawab.
“Sudah tidak dooong.. Lagipula Julie mendapat pengalaman yang sangaaaat berharga! Hmmm.. Papa tahu tidak kalau Mbok itu Jauuuuuuh lebih kaya dari kita lho!”
Ayah Julie menatap anaknya heran. Melihat sinar keheranan di mata ayahnya Julie pun mulai bercerita.
“Kita punya kolam renang, tapi, Mbok punya danau yang luas di belakang rumahnya. Kita punya lampu untuk menerangi rumah kita, tapi, Mbok punya bintang-bintang dan jutaan kunang-kunang yang menerangi mereka setiap malam. Kita punya halaman yang luas, tapi, Mbok punya gunung-gunung serta hutan yang mengelilingi mereka. Ternyata, harta kita itu hanya sebagian kecil dari kekayaan Tuhan dan mbok ya.”
Ayah Julie sedikit kaget mendengar perkataan anaknya, tapi kemudian ia mengelus lembut kepala Julie lalu berkata,
“Ya, maka dari itu, Julie tidak boleh sombong dan seenaknya saja pada Mbok.”
“Siap Kapteen!!!”
Ayah Julie tertawa lalu mereka mulai bercerita-cerita lagi.
Desember 2014
Sejak YESUS Di dalamku
oleh : Vicky Lovely
Langit terlihat gelap, dengan bintang-bintang indah yang bertaburan dan bulan bulat yang menggantung. Komplek perumahan mewah itu sepi. Kebanyakan penghuninya, sudah tidur lelap, atau mungkin sedang tidak ada di rumah.
PRAAAANG!!!!!
Tiba-tiba, terdengar suara piring pecah dari sebuah rumah besar di ujung komplek. Rupanya, penghuni rumah mewah itu belum tidur. Dan bukan hanya itu saja, 2 orang penghuni rumah itu sedang bertengkar.
“Setiap hari kamu bekerja, bekerja, dan bekerja terus! Mana ada waktu untuk keluargamu?!”
“Apa kau bilang?! Kau kira aku bekerja demi siapa?! Baju yang kau pakai, rumah ini, makanan enak yang kau makan, kau pikir itu dibeli dengan uang siapa?!”
Kedua orang itu masih bertengkar dengan suara keras tanpa memperdulikan seorang anak lelaki yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Sejak tadi, Michael melihat kedua orang tuanya yang bertengkar. Dan ini bukan pertama kalinya ia melihat hal ini. Orang tuanya sudah terlalu sering bertengkar sehingga menurutnya, pemandangan ini bukanlah hal yang menyedihkan lagi.
Dulu, ia selalu menangis setiap melihat orang tuanya bertengkar. Tapi, itu dulu. Sekarang, ia tidak lagi peduli dengan orang tuanya. Menurutnya, kedua orang itu seperti anak kecil. Setiap hari, bertengkar karena masalah yang sama, masalah kecil yang selalu dibesar-besarkan. Michael berjalan menuju dapur tanpa memperdulikan kedua orang tuanya lagi. Setelah mengambil air putih, ia berjalan menuju kamar tidurnya.
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, tapi, matanya belum juga terpejam. Michael memandang langit-langit kamarnya sambil mendesah. Betapa ironinya hidupnya. Setiap orang selalu iri akan hidupnya. Mereka semua mengira Michael punya kehidupan yang sempurna. Ayah pengusaha sukses, ibu yang cantik, rumah yang mewah dengan kolam renang, mainan yang banyak dan jutaan hal lainnya.
Tapi, siapa yang tahu bahwa ia benci akan hidupnya? Dan siapa yang tahu bahwa dia muak mendengar teriakan orang tuanya setiap malam? Dan siapa juga yang tahu bahwa dia selalu kesepian walau ia punya banyak teman? Tidak ada yang tahu! Bahkan orang tuanya pun tidak. Jam dindingnya berbunyi 12 kali. Menandakan bahwa ia benar-benar harus tidur jika tidak mau terlambat sekolah besok.
***
“Michael? Michael! Micha eeeel~”
Sebuah suara menyadarkan Michael dari lamunannya. Ternyata Kei, Sahabatnya yang paling mengerti dirinya. Michael menoleh ke arah Kei dan menjawab, “Kenapa?”
Kei menggeleng pelan, “Gapapa sih. Cuma akhir-akhir ini lu ngelamun terus. Pikirin apa siiih???”
Michael terdiam. Haruskah ia bercerita? Belum pernah ia bercerita tentang hal ini kepada siapapun. Tapi, entah mengapa, sebagian hatinya menyuruhnya untuk bercerita. Lagipula, tidak ada salahnya kan untuk curhat? Tapi, Michael memilih untuk tidak bercerita. Ia menggeleng pelan lalu berkata, “Gapapa laaaah. Lagi banyak pikiran doang. Hehehe”
Sebenarnya, Kei tahu ada yang salah dengan Michael, tapi ia tidak mau memaksa. Jadi, ia hanya diam saja melihat sahabatnya yang kembali melamun. Kei mendesah pelan lalu bertanya, “Oh ya, sore ini ada acara?”
Michael menggeleng, “Engga. Kenapa? Mau traktir makan ye?”
Kei mendorong bahu Michael pelan, “Yeeee, maunya ditraktir. Engga, main ke rumah gue, yuk?”
Michael mengernyit heran. Tumben-tumbenan ni anak ngundang. Walau heran, tapi akhirnya dia mengangguk. Lagipula, ia belum ingin pulang dan kembali menyaksikan orang tuanya bertengkar.
***
Michael memandang rumah sederhana itu dengan kagum. Rumah itu memang sederhana, tapi entah mengapa, rumah itu terasa nyaman dan tenang. Halaman rumah itu hijau dengan berbagai tanaman berbunga, cat rumah itu bewarna krem muda yang memberikan kesan nyaman. Kei berjalan di depan Michael lalu membuka pintu gerbang rumahnya. “Silahkan masuk... Tuan Michaeel.”
Michael tertawa lalu masuk ke dalam rumah itu. Ia baru saja masuk, ketika melihat seorang wanita yang duduk di kursi roda. Michael belum tahu harus bertingkah apa ketika mendengar suara Kei dibelakangnya.
“Oh. Hai ibu!!!”
Apa? Ibu?! Ibu Kei lumpuh?! Astagaaa ia tidak pernah tahu akan hal itu! Michael memandang ke arah wanita yang kini tersenyum ramah kepadanya. Michael ikut tersenyum ramah sambil memperkenalkan dirinya.
“Emm.. Halo tante. Saya Michael, teman Kei.”
“Oooh. Ini yang namanya Michael. Kei sering cerita tentang kau...”
Michael menoleh ke arah Kei dengan tatapan “Apa yang kau ceritakan tentang aku”. Kei hanya tersenyum, lalu berjalan ke arah ibunya dan mendorong kursi roda ibunya. Entah mengapa, pemandangan itu membuat hati Michael tersentuh. Ia pun mengikuti Kei masuk ke dalam rumahnya.
“Oh ya Michael, kau mau makan malam disini?”
Michael mendengar suara lembut yang berasal dari ibu Kei. Michael mengangguk sopan dan mengikuti kedua orang itu ke meja makan. Mereka bertiga duduk bersama. Ibu Kei sangat baik dan lucu. Michael senang sekali berbicara dengannya. Dan ia berharap bahwa ia juga punya ibu seperti itu. Saat mereka sedang berbincang-bincang, terdengar suara dari arah pintu.
“Papa pulaaaaaang!!!”
Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pria setengah baya masuk lewat pintu dengan senyum sumigrah. Sebelum Michael sempat memberi salam, ia lebih dahulu melihat Kei berlari dan memeluk pria itu. Dan sekali lagi, Michael merasa iri dengan Kei. Kei memang tidak kaya, ibu Kei memang cacat, dan ayahnya bukanlah seorang pengusaha sukses… tapi, keluarga Kei sangat hangat. Dan ia iri akan hal itu. Sesuatu yang tidak bisa didapatkannya selama ini.
***
“Sebenarnya aku memang ada masalah.”
Kei sedang bermain game ketika mendengar suara sahabatnya. Ia menoleh dan menaruh gamenya.
“Tuh kan... kenapa sih???”
Michael mendesah lalu bercerita akan kedua orang tuanya, sementara Kei mendengarkan ceritanya dengan serius. Setelah merasa Michael selesai, Kei menjawab.
“Mungkin itu karena keluargamu tidak mengenal Yesus. Sebenarnya, sebelum aku dan keluargaku mengenal Yesus, kami juga seperti itu. Aku bahkan membenci ibuku karena kecacatannya, dan aku membenci ayahku yang tidak kaya. Tapi, semua itu berubah ketika kami mengenal Yesus. Setiap hari, aku makin sadar bahwa sikapku salah dan orang tuaku adalah anugrah.”
Michael mendengarkan cerita Kei dengan sedikit tak percaya. Ia tidak menyangka Kei juga pernah mengalami masalah yang sama. Suasana diantara mereka masih hening hingga akhirnya Kei berbicara lagi,
“Minggu ini... mau pergi ke gereja bareng? Ajak orang tuamu juga ya.”
Michael tertawa, “Hahahahaha! Percuma saja! Walaupun ke gereja, orang tua gue ga bakal pernah berhenti bertengkar. Lagipula, gue ga mau repot-repot meyakinkan mereka”
Kei menatap Michael tajam. “Tidak mau repot-repot?! Jika kau tidak mau repot dan kau tidak mau berjuang, maka kau sudah berhenti bertumbuh. Dan itu berarti, selamanya keluargamu akan seperti ini. Atau bahkan, bisa lebih parah. Memang, sulit pada awalnya. Tapi, hidup itu perjuangan kan?”
Michael menunduk mendengar jawaban Kei. Mungkin, selama ini keluarganya memang sudah berhenti bertumbuh. Atau yang lebih parah, dalam rohani, mereka sudah mati. Tiba-tiba, Michael merasakan sebuah tepukan hangat di punggungnya.
“Kalau kau tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa melakukannya bersama-sama. Aku akan membantumu..”
Michael tersenyum dan mengangguk. Mungkin, ini saatnya, ia keluar dari zona nyamannya, dan menghadapi kedua orang tuanya.
***
“Apa kau bilang?! Pergi ke gereja?! Untuk apa?! Papa sudah sibuk, mana ada waktu untuk pergi ke gereja!”
Michael mendesah mendengar teriakan ayahnya. Astagaa... Akan sulit sekali untuk meyakinkan ayahnya. Setelah beragumen panjang lebar, ayahnya belum juga mau untuk pergi ke gereja, bahkan untuk 1 kali saja. Ibunya pun sama.
Michael mendesah lalu menjawab. “Pa, Ma, apa kalian tidak sadar, selama ini kalian bertengkar dan bertengkar, apa kita masih bisa disebut sebuah keluarga? Papa kira aku bahagia dengan harta yang ayah berikan? Mama kira aku bahagia dengan makanan enak yang aku makan? Tidak. Kebahagiaan yang aku mau tidak bisa dibeli dengan uang. Aku hanya ingin kita menjadi keluarga. KELUARGA. Pernahkah papa mama pikirkan itu? Tidak. Kalian tidak punya waktu untukku. Jadi, apa sebenarnya aku anak kalian?”
Orang tua Michael diam mendengar hal itu. Memang benar apa yang dikatakan anaknya. Mereka bertiga mungkin bukan lagi sebuah keluarga. Merasa bersalah, kedua orangtua Michael akhirnya menyetujui keinginan Michael untuk pergi ke gereja minggu ini.
***
3 bulan kemudian...
“Oi Keei!!!”
Kei menoleh dan melihat Michael melambai ke arahnya. Michael memang ceria akhir-akhir ini. Anak itu tidak lagi bertengkar dengan kedua orang tuanya. Keluarga Michael memang telah menerima Yesus, sehingga ikatan yang hancur diantara mereka, kini telah pulih kembali.
Kei memperlambat langkahnya dan merasakan rangkulan pundaknya, “Tumben, pagi-pagi sudah semangat.”
Michael tersenyum, “Yeeee, siapa yang biasanya tidak semangat?”
Mereka berdua tertawa sambil berjalan memasuki gereja.
SELESAI