BUKU HARIAN AYAH
karya : Vicky Lovely
Aku tidak pernah menyukai ayah. Dia tidak pintar, tidak sukses, tidak kaya dan cacat. Kakinya terpaksa diamputasi karena tertabrak mobil. Sejak aku kecil, ayah jarang pulang ke rumah karena ia bekerja di 3 tempat sekaligus dan karena hal itu, aku yang tidak punya ibu kini juga kehilangan kasih sayang seorang ayah. Tidak seperti ayah teman-temanku yang lain, ayah jarang sekali memberiku barang atau mainan yang kuminta. Ia lebih sering mengatakan “tidak” atau “tunggu”. Seringkali aku berusaha untuk mengerti ayah, tapi aku tidak pernah merasa bahwa ayah mencoba untuk mengerti kemauanku.Seringkali aku merasa malu memiliki ayah sepertinya. Dan kadang, aku merasa iri dengan teman-temanku yang punya ayah yang sempurna. Ayah yang pintar, ayah yang tampan, ayah yang sukses, dan ayah yang tidak cacat. Sejujurnya, aku pun juga ingin memiliki ayah yang patut dibanggakan, bukan seorang ayah yang membuatku terpaksa diejek-ejek ataupun seorang ayah yang bahkan tidak bisa jadi inspirasiku.
Karena tidak mau menjadi seperti ayah, aku belajar dengan keras sehingga akhirnya mendapat beasiswa di sebuah universitas ternama di negaraku. Aku ingat, saat namaku terdaftar sebagai mahasiswa berprestasi penerima beasiswa, aku meminta kepada ayah sebuah mobil dan pada saat itu ayahku hanya tersenyum dan berjanji akan memberikannya saat aku lulus nanti. Dan aku menyetujuinya. Oleh karena itu, aku belajar semakin giat agar bisa lulus dengan hasil yang baik dan menunjukan pada ayah bahwa ia bisa bangga punya anak sepertiku. Tanpa terasa minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang sangat sangat memuaskan. Bahkan, aku dinobatkan menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik yang lulus pada tahun itu. Saat wisuda, aku melihat ayahku datang dan ia tersenyum bangga kepadaku. Ia bahkan memelukku dan menyatakan betapa bangganya ia memiliki seorang anak sepertiku. Hari itu adalah hari dimana aku benar-benar merasakan kasih seorang ayah yang jarang sekali kurasakan.
Setelah pulang dari upacara penobatan, ayah mengajakku makan di sebuah restoran ternama untuk merayakannya. Pada saat kami sedang menunggu pesanan makanan, aku menagih janjinya untuk membelikanku sebuah mobil. Ayah tersenyum lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Pertama, aku mengira ayah akan memberikanku sebuah kunci mobil, akan tetapi, ia malah mengeluarkan sebuah buku usang dari dalam tasnya. Aku mengerutkan dahiku ketika melihat ayah menyodorkan buku itu kepadaku. Buku itu terlihat usang dan jelek. Sampulnya yang berwarna cokelat sudah mengelupas disana sini.
“ambilah nak, ini hadiah kelulusanmu.”
Aku menatap ayah tak percaya. 4 tahun aku berjuang mati-matian untuk belajar untuk membanggakannya dan bukannya memberikanku barang yang benar-benar kuinginkan, ia malah memberikan sebuah buku usang?! Apakah lelaki itu tidak tahu bahwa aku sudah berusaha untuk mengerti keadaannya bahkan sejak aku kecil? Apakah lelaki itu tidak tahu bahwa aku berusaha bersabar menghabiskan 20 tahun hidupku untuk menghadapi ledekan teman-temanku tentang kakinya yang cacat? Dan apakah lelaki itu tidak sadar bahwa aku tidak pernah benar-benar meminta apapun kepadanya kecuali sebuah mobil untuk hadiah kelulusanku?! Perasaanku saat itu campur aduk. Aku marah, sedih, kecewa, dan merasa bahwa Tuhan tidak adil karena memberikanku seorang ayah yang tidak pengertian dan cacat. Dengan marah, aku berdiri sambil melempar buku itu jauh-jauh dan pergi meninggalkan ayahku yang masih terus memanggil-manggil namaku. Hari itu adalah hari terakhir aku melihat ayah.
Awalnya, pergi dari rumah terasa tidak nyaman bagiku. Namun, berbekal ijazah kelulusanku itu, aku berhasil diterima di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang cukup tinggi. Bertahun-tahun aku bekerja disana hingga pada akhirnya aku mendapat jabatan yang tinggi dan kepercayaan besar dari atasanku untuk menjadi direktur cabang utama. Hidupku berjalan mulus setelahnya. Aku mampu membeli sebuah rumah yang cukup besar, menikah, dan mempunyai seorang anak yang cantik. Selama 5 tahun itu, aku tidak pernah lagi mendengar nama ayah dan bahkan aku mulai melupakannya.Sampai suatu hari, seorang kerabat meneleponku dan mengatakan bahwa ayahku telah meninggal karena serangan jantung. Aku terkejut, tapi tidak juga menangis ataupun merasa sedih. Awalnya, aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, akan tetapi istriku memaksaku untuk pulang dan menyelesaikan tugasku sebagai anak yang bertanggung jawab. Istriku berkata bahwa sekalipun ayahku tidak pernah memberikanku barang yang kuminta, setidaknya lelaki itu telah menyelesaikan tanggung jawabnya untuk membesarkanku. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, aku pun pulang ke rumah lamaku.
Rumah itu masih sama seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya. Cat tembok bewarna putih yang mengelupas, atap rumah penuh tambalan dimana-mana, dan pintu kayu yang kini sudah reyot. Tidak ada yang berubah. Aku memarkir mobilku di depan dan mendorong pintu reyot itu pelan. Tidak hanya dari luar, tapi isi dalam rumah itu pun masih sama. Kakiku berjalan menapaki ubin yang kotor dan berdebu itu sambil memandang sekeliling dan mulai bernostalgia. Aku tidak menyangka bahwa aku ternyata cukup merindukan rumah lama tempat aku dibersarkan ini. Dan kini kakiku dengan seenaknya berjalan membawaku ke depan pintu kamar ayah. Aku berdiri di sana dalam diam dan sebuah perasaan aneh mulai menggelitik di dadaku. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk memutar kenop pintu itu dan masuk ke dalamnya. Kamar ayahku terlihat berantakan. Selimutnya tidak dirapikan dan kasurnya masih berantakan. Entah mengapa aku mulai bergidik membayangkan ayahku yang baru saja bangun dari tempat tidurnya dan terjatuh dari sana saat mengalami serangan jantung. Lelaki itu bahkan tidak sempat membereskan tempat tidurnya ketika Tuhan mengambil napas terakhirnya. Tidak mau memikirkannya lebih lanjut, aku mengitari kamar ayahku dan pada saat itulah aku melihat sebuah buku bersampul cokelat. Aku mendekat dan mengambil buku itu untuk melihatnya lebih dekat. Tidak salah lagi. Buku ini adalah hadiah pemberian ayahku saat aku lulus. Sebenarnya, aku tidak ingin membukanya dan memutuskan untuk membuangnya ketika melihat sebuah tulisan kecil di ujungnya.
“Buku Harian”
Buku harian? Setelah terdiam beberapa saat aku memutuskan untuk membacanya karena penasaran. Aku pun mulai membuka lembaran pertama.
4 Januari 1990
Hari ini seharusnya adalah terbahagia dalam hidupku. Anakku lahir! Anak yang telah kunati-nantikan selama 9 bulan lamanya telah lahir. Mata bayiku itu besar seperti istriku dan hidungnya mancung sepertiku. Akan tetapi, tidak lama setelah bayiku lahir, istriku pun meninggal. Hari itu adalah hari dimana aku benar-benar merasakan adanya gejolak emosi dalam hidupku. Aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkan istriku. Seandainya saja waktu bisa terulang, aku pasti akan melakukan apa saja agar istri dan anakku dapat hidup. Akan tetapi, waktu tidak dapat terulang dan oleh karena itu aku memutuskan untuk menjaga anakku sepenuhnya. Oleh karena itu, aku memberi namanya Achilles yang berarti kuat. Ya aku ingin agar bayi ini tumbuh menjadi seorang lelaki yang kuat dan bisa menghadapi dunia setangguh apapun.
Sudut bibirku mulai terangkat ketika mengetahui latar belakang nama yang telah diberikan oleh ayahku ini. Achilles. Kuat. Tangguh. Aku melanjutkan membaca buku itu.
12 Maret 1994
Sebuah tragedi terjadi hari ini. Hari ini aku berjalan bersama Achilles di sebuah taman dekat rumah kami. Saat itu, Achilles merengek memintaku untuk membelikannya es krim. Aku pun menyutujuinya dan memintanya untuk tinggal di bangku taman dan menunggu di situ sampai aku kembali, akan tetapi, saat aku kembali, aku mendapati Achilles tidak ada disana. Dengan panik, aku mencarinya kemana-mana dan pada saat itulah aku melihatnya sedang berjongkok di tengah jalan mengambil bolanya yang terjatuh. Aku tersenyum lega. Tapi detik berikutnya, aku dapat merasakan senyumanku berubah cepat. Sebuah mobil tiba-tiba melaju cepat dari arah barat dan akan segera menabrak Achilles. Aku berteriak menyuruhnya menjauh. Tapi ia tidak mendengarnya. Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk berlari dan mendorongnya ke samping. Malangnya, kakiku tertabrak mobil dan akhirnya dokter terpaksa mengamputasi kakiku. Tapi, aku tidak menyesal. Yang penting, Achilles terselamatkan.
Tanganku menegang membacanya. Jadi.. Selama ini.. Ayah cacat karena menyelamatkanku?! Mengapa ia tidak pernah berkata apapun?! Tanganku kembali membalik kertas untuk membaca kelanjutannya.
20 Juni 1997
Hari ini Achilles merengek meminta dibelikan sepatu roda, padahal aku tahu benar bahwa kakinya masih keseleo karena terjatuh dari tangga waktu itu. Dan aku tahu dia hanya tidak ingin ketinggalan zaman oleh teman-temannya. Aku mencoba menjelaskannya dengan berkata “tunggu dulu”. Tapi kelihatannya ia marah dan aku bisa melihat bahwa sejak hari itu, ia benar-benar menjadi jarang bergantung kepadaku...
Aku terdiam mendengarnya. Aku ingat, hari itu memanglah hari dimana aku benar-benar memutuskan untuk tidak akan terlalu bergantung pada ayah lagi, dan alasan sebenarnya mengapa ayah tidak membelikanku adalah karena ayah tahu bahwa kakinya sedang terluka?
Membaca isi buku itu benar-benar membuat emosinya bergejolak. Ayah ternyata mengasihiku lebih dari yang ku ketahui. Ayah ternyata berkali-kali melakukan sesuatu yang benar-benar membuatku menyesal meninggalkannya dan pada akhirnya tanganku sampai ke halama terakhir di buku itu.
29 Juli 2009
Hari ini Achilles lulus kuliah. Aku sangat bangga padanya. Apalagi, ia menerima gelar mahasiswa dengan nilai terbaik. Anakku yang telah kubesarkan dengan susah payah kini telah menjadi seseorang yang sukses. Pada hari itu, aku bermaksud menepati janjiku padanya dengan memberikannya sebuah mobil dengan uang yang telah kutabung 4 tahun sebelumnya. Tapi aku juga ingin memberikannya buku harian ini, aku ingin dia membaca seluruh isi hatiku dan membiarkannya tahu betapa aku mencintainya dan betapa aku bangga punya anak seperti seorang Achilles...
Dan pada saat itulah sebuah kunci mobil yang terselip di paling belakang buku itu terjatuh ke lantai. Aku mengambil kunci itu dan melihat ukiran kecil di belakangnya.
I will always love you – Dad
Air mataku meluncur deras. Aku tidak dapat lagi menyembunyikan rasa bersalahku. Ayah mencintaiku dengan sepenuh hatinya, akan tetapi aku malah meninggalkannya dan bahkan mengutuk-ngutuknya. Seandainya, waktu itu aku mau menerima buku ini. Seandainya saat itu aku mau bersabar, seandainya saat itu aku tahu betapa ayah mencintaiku. Maka mungkin pada saat ini, aku tidak akan menyesal mengetahui bahwa ayahku sudah meninggal tanpa sempat membiarkanku menyayanginya sepenuh hatiku...
Renungan :
Seringkali kita tidak mengetahui besarnya cinta Tuhan di hidup kita. Kita bahkan marah saat mengetahui Tuhan tidak memberikan apa yang kita mau. Padahal, tanpa kita sadari, Tuhan selalu dan selalu menyiapkan yang terbaik untuk kita.
Karena tidak mau menjadi seperti ayah, aku belajar dengan keras sehingga akhirnya mendapat beasiswa di sebuah universitas ternama di negaraku. Aku ingat, saat namaku terdaftar sebagai mahasiswa berprestasi penerima beasiswa, aku meminta kepada ayah sebuah mobil dan pada saat itu ayahku hanya tersenyum dan berjanji akan memberikannya saat aku lulus nanti. Dan aku menyetujuinya. Oleh karena itu, aku belajar semakin giat agar bisa lulus dengan hasil yang baik dan menunjukan pada ayah bahwa ia bisa bangga punya anak sepertiku. Tanpa terasa minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang sangat sangat memuaskan. Bahkan, aku dinobatkan menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik yang lulus pada tahun itu. Saat wisuda, aku melihat ayahku datang dan ia tersenyum bangga kepadaku. Ia bahkan memelukku dan menyatakan betapa bangganya ia memiliki seorang anak sepertiku. Hari itu adalah hari dimana aku benar-benar merasakan kasih seorang ayah yang jarang sekali kurasakan.
Setelah pulang dari upacara penobatan, ayah mengajakku makan di sebuah restoran ternama untuk merayakannya. Pada saat kami sedang menunggu pesanan makanan, aku menagih janjinya untuk membelikanku sebuah mobil. Ayah tersenyum lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Pertama, aku mengira ayah akan memberikanku sebuah kunci mobil, akan tetapi, ia malah mengeluarkan sebuah buku usang dari dalam tasnya. Aku mengerutkan dahiku ketika melihat ayah menyodorkan buku itu kepadaku. Buku itu terlihat usang dan jelek. Sampulnya yang berwarna cokelat sudah mengelupas disana sini.
“ambilah nak, ini hadiah kelulusanmu.”
Aku menatap ayah tak percaya. 4 tahun aku berjuang mati-matian untuk belajar untuk membanggakannya dan bukannya memberikanku barang yang benar-benar kuinginkan, ia malah memberikan sebuah buku usang?! Apakah lelaki itu tidak tahu bahwa aku sudah berusaha untuk mengerti keadaannya bahkan sejak aku kecil? Apakah lelaki itu tidak tahu bahwa aku berusaha bersabar menghabiskan 20 tahun hidupku untuk menghadapi ledekan teman-temanku tentang kakinya yang cacat? Dan apakah lelaki itu tidak sadar bahwa aku tidak pernah benar-benar meminta apapun kepadanya kecuali sebuah mobil untuk hadiah kelulusanku?! Perasaanku saat itu campur aduk. Aku marah, sedih, kecewa, dan merasa bahwa Tuhan tidak adil karena memberikanku seorang ayah yang tidak pengertian dan cacat. Dengan marah, aku berdiri sambil melempar buku itu jauh-jauh dan pergi meninggalkan ayahku yang masih terus memanggil-manggil namaku. Hari itu adalah hari terakhir aku melihat ayah.
Awalnya, pergi dari rumah terasa tidak nyaman bagiku. Namun, berbekal ijazah kelulusanku itu, aku berhasil diterima di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang cukup tinggi. Bertahun-tahun aku bekerja disana hingga pada akhirnya aku mendapat jabatan yang tinggi dan kepercayaan besar dari atasanku untuk menjadi direktur cabang utama. Hidupku berjalan mulus setelahnya. Aku mampu membeli sebuah rumah yang cukup besar, menikah, dan mempunyai seorang anak yang cantik. Selama 5 tahun itu, aku tidak pernah lagi mendengar nama ayah dan bahkan aku mulai melupakannya.Sampai suatu hari, seorang kerabat meneleponku dan mengatakan bahwa ayahku telah meninggal karena serangan jantung. Aku terkejut, tapi tidak juga menangis ataupun merasa sedih. Awalnya, aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, akan tetapi istriku memaksaku untuk pulang dan menyelesaikan tugasku sebagai anak yang bertanggung jawab. Istriku berkata bahwa sekalipun ayahku tidak pernah memberikanku barang yang kuminta, setidaknya lelaki itu telah menyelesaikan tanggung jawabnya untuk membesarkanku. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, aku pun pulang ke rumah lamaku.
Rumah itu masih sama seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya. Cat tembok bewarna putih yang mengelupas, atap rumah penuh tambalan dimana-mana, dan pintu kayu yang kini sudah reyot. Tidak ada yang berubah. Aku memarkir mobilku di depan dan mendorong pintu reyot itu pelan. Tidak hanya dari luar, tapi isi dalam rumah itu pun masih sama. Kakiku berjalan menapaki ubin yang kotor dan berdebu itu sambil memandang sekeliling dan mulai bernostalgia. Aku tidak menyangka bahwa aku ternyata cukup merindukan rumah lama tempat aku dibersarkan ini. Dan kini kakiku dengan seenaknya berjalan membawaku ke depan pintu kamar ayah. Aku berdiri di sana dalam diam dan sebuah perasaan aneh mulai menggelitik di dadaku. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk memutar kenop pintu itu dan masuk ke dalamnya. Kamar ayahku terlihat berantakan. Selimutnya tidak dirapikan dan kasurnya masih berantakan. Entah mengapa aku mulai bergidik membayangkan ayahku yang baru saja bangun dari tempat tidurnya dan terjatuh dari sana saat mengalami serangan jantung. Lelaki itu bahkan tidak sempat membereskan tempat tidurnya ketika Tuhan mengambil napas terakhirnya. Tidak mau memikirkannya lebih lanjut, aku mengitari kamar ayahku dan pada saat itulah aku melihat sebuah buku bersampul cokelat. Aku mendekat dan mengambil buku itu untuk melihatnya lebih dekat. Tidak salah lagi. Buku ini adalah hadiah pemberian ayahku saat aku lulus. Sebenarnya, aku tidak ingin membukanya dan memutuskan untuk membuangnya ketika melihat sebuah tulisan kecil di ujungnya.
“Buku Harian”
Buku harian? Setelah terdiam beberapa saat aku memutuskan untuk membacanya karena penasaran. Aku pun mulai membuka lembaran pertama.
4 Januari 1990
Hari ini seharusnya adalah terbahagia dalam hidupku. Anakku lahir! Anak yang telah kunati-nantikan selama 9 bulan lamanya telah lahir. Mata bayiku itu besar seperti istriku dan hidungnya mancung sepertiku. Akan tetapi, tidak lama setelah bayiku lahir, istriku pun meninggal. Hari itu adalah hari dimana aku benar-benar merasakan adanya gejolak emosi dalam hidupku. Aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkan istriku. Seandainya saja waktu bisa terulang, aku pasti akan melakukan apa saja agar istri dan anakku dapat hidup. Akan tetapi, waktu tidak dapat terulang dan oleh karena itu aku memutuskan untuk menjaga anakku sepenuhnya. Oleh karena itu, aku memberi namanya Achilles yang berarti kuat. Ya aku ingin agar bayi ini tumbuh menjadi seorang lelaki yang kuat dan bisa menghadapi dunia setangguh apapun.
Sudut bibirku mulai terangkat ketika mengetahui latar belakang nama yang telah diberikan oleh ayahku ini. Achilles. Kuat. Tangguh. Aku melanjutkan membaca buku itu.
12 Maret 1994
Sebuah tragedi terjadi hari ini. Hari ini aku berjalan bersama Achilles di sebuah taman dekat rumah kami. Saat itu, Achilles merengek memintaku untuk membelikannya es krim. Aku pun menyutujuinya dan memintanya untuk tinggal di bangku taman dan menunggu di situ sampai aku kembali, akan tetapi, saat aku kembali, aku mendapati Achilles tidak ada disana. Dengan panik, aku mencarinya kemana-mana dan pada saat itulah aku melihatnya sedang berjongkok di tengah jalan mengambil bolanya yang terjatuh. Aku tersenyum lega. Tapi detik berikutnya, aku dapat merasakan senyumanku berubah cepat. Sebuah mobil tiba-tiba melaju cepat dari arah barat dan akan segera menabrak Achilles. Aku berteriak menyuruhnya menjauh. Tapi ia tidak mendengarnya. Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk berlari dan mendorongnya ke samping. Malangnya, kakiku tertabrak mobil dan akhirnya dokter terpaksa mengamputasi kakiku. Tapi, aku tidak menyesal. Yang penting, Achilles terselamatkan.
Tanganku menegang membacanya. Jadi.. Selama ini.. Ayah cacat karena menyelamatkanku?! Mengapa ia tidak pernah berkata apapun?! Tanganku kembali membalik kertas untuk membaca kelanjutannya.
20 Juni 1997
Hari ini Achilles merengek meminta dibelikan sepatu roda, padahal aku tahu benar bahwa kakinya masih keseleo karena terjatuh dari tangga waktu itu. Dan aku tahu dia hanya tidak ingin ketinggalan zaman oleh teman-temannya. Aku mencoba menjelaskannya dengan berkata “tunggu dulu”. Tapi kelihatannya ia marah dan aku bisa melihat bahwa sejak hari itu, ia benar-benar menjadi jarang bergantung kepadaku...
Aku terdiam mendengarnya. Aku ingat, hari itu memanglah hari dimana aku benar-benar memutuskan untuk tidak akan terlalu bergantung pada ayah lagi, dan alasan sebenarnya mengapa ayah tidak membelikanku adalah karena ayah tahu bahwa kakinya sedang terluka?
Membaca isi buku itu benar-benar membuat emosinya bergejolak. Ayah ternyata mengasihiku lebih dari yang ku ketahui. Ayah ternyata berkali-kali melakukan sesuatu yang benar-benar membuatku menyesal meninggalkannya dan pada akhirnya tanganku sampai ke halama terakhir di buku itu.
29 Juli 2009
Hari ini Achilles lulus kuliah. Aku sangat bangga padanya. Apalagi, ia menerima gelar mahasiswa dengan nilai terbaik. Anakku yang telah kubesarkan dengan susah payah kini telah menjadi seseorang yang sukses. Pada hari itu, aku bermaksud menepati janjiku padanya dengan memberikannya sebuah mobil dengan uang yang telah kutabung 4 tahun sebelumnya. Tapi aku juga ingin memberikannya buku harian ini, aku ingin dia membaca seluruh isi hatiku dan membiarkannya tahu betapa aku mencintainya dan betapa aku bangga punya anak seperti seorang Achilles...
Dan pada saat itulah sebuah kunci mobil yang terselip di paling belakang buku itu terjatuh ke lantai. Aku mengambil kunci itu dan melihat ukiran kecil di belakangnya.
I will always love you – Dad
Air mataku meluncur deras. Aku tidak dapat lagi menyembunyikan rasa bersalahku. Ayah mencintaiku dengan sepenuh hatinya, akan tetapi aku malah meninggalkannya dan bahkan mengutuk-ngutuknya. Seandainya, waktu itu aku mau menerima buku ini. Seandainya saat itu aku mau bersabar, seandainya saat itu aku tahu betapa ayah mencintaiku. Maka mungkin pada saat ini, aku tidak akan menyesal mengetahui bahwa ayahku sudah meninggal tanpa sempat membiarkanku menyayanginya sepenuh hatiku...
Renungan :
Seringkali kita tidak mengetahui besarnya cinta Tuhan di hidup kita. Kita bahkan marah saat mengetahui Tuhan tidak memberikan apa yang kita mau. Padahal, tanpa kita sadari, Tuhan selalu dan selalu menyiapkan yang terbaik untuk kita.